Senin, 06 Januari 2014

PERBENTURAN DIANTARA DUA BUDAYA DAN PERADABAN DUNIA Oleh: Lathifatul Izzah



PERBENTURAN DIANTARA DUA BUDAYA DAN PERADABAN DUNIA
Oleh: Lathifatul Izzah

Judul buku      : Sang Manusia Sempurna, Antara Filsafat Islam Dan Hindu
Penulis                        : Seyyed Mohsen Miri
Penerjemah     : Zubair
Penerbit          : Teraju Mizan, Bandung
Cetakan           : Pertama/2004 
Tebal Buku     : xvi + 236 halaman

Di balik kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai, moderenisme dapat mereduksi nilai-nilai luhur kemanusiaan. Ilmu pengetahuan sebagai komponen dominan peradaban modern telah mereduksi manusia ke tingkat hewani atau bahkan benda-benda mati belaka. Manusia dalam banyak tradisi keagamaan dipandang sebagai “citra” ilahi. Dalam penelitian manusia seringkali direduksi ke tingkat hewani. Sehingga dalam pandangan sains modern, manusia tidak ubahnya seekor tikus dan seonggok benda mati, laksana “sebutir debu di antara debu-debu lain yang berserakan di alam semesta.”
Dampak lain modernisme adalah manusia banyak mengalami kekeringan spiritual dan krisis multi-dimensi. Kemudian kekeringan dan krisis tersebut memunculkan berbagai bentuk penyakit jasmani atau rohani. Mereka tidak sedikit melakukan perbuatan aneh-aneh, misalnya memakai narkoba, korupsi, prostitusi, perselingkuhan bahkan lari ke jalan-jalan dst. Perbuatan tersebut dianggap dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dan dapat menemukan kembali jati dirinya yang hilang. Perilaku aneh tersebut justru melahirkan masalah baru bagi kehidupan dirinya dan lingkungan masyarakatnya. Hingga akhir-akhir ini bermunculan rei ki-rei ki atau pusat-pusat penyembuhan alternatif yang instan dan dianggap dapat menyembuhkan segala bentuk penyakit.
Lewat karya monumentalnya, The Perfect Man, A Comparative Study in Indian and Iranian Philosophical Thought, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi  Sang Manusia Sempurna Antara Filsafat Islam dan Hindu Seyyed Mohsen Miri yang lahir di Teheran Iran, tahun 1960 dan sekarang menjabat sebagai Rektor Islamic College for Advanced Studies (ICAS) London Cabang Jakarta, berusaha untuk mengajak pembaca merenungkan sejenak tawaran dari dua budaya dan peradaban besar dunia, yakni Islam (Iran) dan Hindu (India).
Masing-masing budaya dan peradaban ini diwakili Jalaluddin Rumi (dari Islam), mistikus yang lebih dikenal dengan puisi cinta kepada Tuhan dan Mulla Shadra adalah salah seorang tokoh yang mampu melakukan sintesa atas berbagai aliran filsafat Islam. Sementara dari Hindu dipresentasikan oleh dua Filosof India, Sri Aurobindo dan Swami Vivekananda. Mereka adalah filosof-filosof Hindu yang banyak makan asam-garamnya kehidupan modern di Barat. Kemudian mereka mendalami kehidupan asketisisme dan mistisisme.
Dari kemasan ini, Miri juga berusaha menawarkan dan memberi jalan alternatif kepada seluruh pembaca untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dan mengajak umat manusia agar kembali kepada fitrahnya, bahwa manusia bukan makhluk biologis semata tetapi makhluk spiritual. Manusia terikat secara akrab bukan hanya dengan dunia fisik, tetapi juga dengan dunia spiritual yang menyebabkan dirinya berpotensi bukan hanya untuk mengenal dunia fisik, tetapi dunia non-fisik atau spiritual. Manusia bukan merupakan seonggok benda mati belaka, tetapi merupakan intisari kosmos (alam). Manusia adalah “mikrokosmos” yang telah dijadikan sebagai “sebab fundamental” atau bahkan sebagai tujuan akhir penciptaan alam.
Manusia sempurna akan mengalami kefanaan bersama Tuhan, mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan, tanpa harus menghindar dari pergaulan dan persoalan dunia. Kebahagiaan dan kesempurnaan akan dicapai melalui dunia dan tubuh. Sebagai pendamping dan pelayan bagi masyarakat adalah kebanggaan dan kebahagiaan bagi dirinya. Ia tidak terpengaruh dengan perubahan kondisi masyarakatnya dan kekaguman orang lain terhadapnya. Yang paling menarik bagi dirinya hanyalah melihat esensi dan kemurahan Tuhan.
Mulyadhi Kartanegara, salah seorang filosof muslim Indonesia kini dalam pengantar buku ini mengatakan bahwa manusia sempurna adalah satu-satunya wakil dari Sang Pencipta yang diberi amanah luhur untuk mengejawantahkan kehendak-kehendak Tuhan di muka bumi. Ia adalah wakil bukan dari sembarang raja, tetapi wakil dari Raja di Raja, yakni Tuhan yang Maha Esa.
Masing-masing pribadi memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi biologis (badaniah) dan spiritualnya (jiwa) melalui perjalanan spiritual yang panjang, tidak terputus, dan tidak lekang oleh ruang dan waktu. Dalam Islam perjalanan spiritual ini dapat ditempuh dengan dua jalan, yaitu jalan spekulatif dan jalan praktis.
 Jalan spekulatif (teoritis) adalah jalan yang mengarah pada intelek, pemahaman, dan pengertian manusia. Sedang Jalan praktis dapat ditempuh melalui empat tingkatan, pertama penyucian penampilan dengan memperhatikan hukum Tuhan dan ajaran agama, seperti puasa, zakat, sholat, peduli pada keluarga, menyantuni anak yatim dan orang miskin, memberikan pendidikan, membangun rumah sakit dan mendirikan pusat-pusat bantuan kemanusiaan, kedua penyucian hati dan batin dari hal-hal yang tidak bermoral, ketiga menghiasi jiwa dengan berbagai bentuk dan keuntungan yang suci, dan keempat memfanakan (menyatukan) jiwa ke dalam Tuhan sambil memperhatikan keaguangan Tuhan dan Kerajaan-Nya, yang merupakan akhir dari petualangan pertama manusia (hal. 84).
Hindu menyebut jalan spiritual ini dengan sebutan yoga yang terdiri dari empat bentuk: Yoga Jnana adalah jenis yoga yang menekankan pada pembebasan kebodohan yang akan membawa manusia pada pengetahuan. Yoga Bhakti adalah bentuk yoga yang menawarkan jalan pemujaan dan cinta untuk menuju Brahman, pemujaan terhadap gambar dan berhala yang mengindikasikan Dewa dan Dewi, berdo’a, zikir, dan senandung nyanyian-nyanyian ketuhanan, kemudian dilanjutkan dengan meditasi, dan terakhir ketiadaan yang memuja dan yang dipuja yang keduanya saling menyatu, sering disebut dengan moksa. Yoga Karma adalah jenis yoga yang menekankan pada sikap dan perbuatan baik. Yoga Raja adalah bentuk yoga yang bersifat fisik dan psikis yang menekankan pada pengendalian akal dan tubuh. (hal. 207). 
Dari jalan spiritual yang ditawarkan oleh kedua agama tersebut, masing-masing pribadi manusia bebas memilih jalan yang dikehendaki dalam mengembangkan jiwa spiritulnya untuk mencapai tingkat kesempurnaannya. Jalan kesempurnaan tidak hanya diklaim salah satu agama, misalnya Islam atau Hindu saja. Agama-agama lain juga mempunyai hak dan berwajiban membentuk dan menawarkan konsep insan kamil (manusia sempurna).
Oleh sebab itu Miri memandang bahwa persoalan tersebut bukan persoalan pribadi atau golongan, tetapi persoalan bersama. Dalam buku ini Miri mengingatkan pada para pembaca agar melakukan dialog dan kerjasama dalam menghadapi persolan-persoalan kemanusiaan. Tujuan terpenting adalah untuk membangun peradaban baru yang lebih baik dan dinamis dalam menebarkan perdamaian, keamanan, keadilan dan kebahagiaan kepada seluruh alam. Keberagamaan atau religiositas masing-masing umat beragama yang sudah melekat dalam masing-masing ajaran agamanya dapat dijadikan pintu masuk untuk melakukan gerakan tersebut. 
Buku ini akan semakin terasa nikmat dibaca jika dipersandingkan dengan buku Farid Esack, On Being a Muslim Finding a Religious Path in the World Today (1999) yang dilalihbahasakan ke Indonesia On Being a Muslim Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural dan buku Sayyed Hussein Nashr, Islamic Spirituality: Manifestations (World Spirituality - An Encyclopedic History of the Religious Quest) dan Islamic Spirituality: Foundation (world spirituality). Esack dan Nashr hanya berusaha mengungkap jalan spiritual Islam, tetapi tidak berusaha untuk membandingkan dan mempertemukan dengan agama-agama lain, sebagaimana yang dilakukan Miri.
 Buku ini baik dan menarik untuk dibaca semua kalangan, lebih-lebih para budayawan, ilmuwan dan agamawan yang akhir-akhir ini ditantang oleh terpaan badai moderinisme.


*Lathifatul Izzah: salah seorang kader Perempuan Berbudaya Adiluhung angkatan Pertama yang aktif di PW Fatayat DIY dan masih mengikuti Pendidikan Ulama Perempuan (PUP) angkatan IV Rahima.

*Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga (almamater penulis), Religi, Vol. IV, No. 2, Juli 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar