Bencana,
musibah dan krisis yang memporak-porandakan tatanan kehidupan bangsa akan dapat berdampak pada psikis
manusia. Baik bencana, musibah maupun krisis tersebut direncanakan (by design) atau tidak oleh manusia. Akibatnya,
tidak sedikit manusia mengalami trauma, frustrasi, kecewa, konflik batin,
ketegangan dan perselisihan baik di tingkat individu maupun kelompok
masyarakat. Gangguan psikis ini ada yang sifatnya mengancam dan tidak mengancam
bagi batin manusia.
Gangguan
psikis bersifat tidak mengancam karena tidak berdampak pada pertumbuhan
penyakit jiwa. Sedang bersifat mengancam, karena berdampak pada patogen atau
penyakit jiwa. Di sinilah kemudian agama dan/atau bimbingan spiritual menjadi
penting untuk dijadikan sebagai psikoterapi atau psikopatogen. Agama dan/atau
bimbingan spiritual dianggap mampu memberikan kedamaian, kebahagiaan, cinta
kasih, mengatasi rasa takut, frustasi dan lain sebaginya.
Dalam
bimbingan spiritual atau psikis pada diri sendiri atau orang lain tidak cukup
hanya dipenuhi kebutuhan pokoknya saja.
Seperti kebutuhan
makan, tempat tinggal, kesehatan, keamanan, perhatian, perdamaian, pengakuan,
persahabatan dan cinta kasih. Pemahaman terhadap diri sendiri
juga perlu dilakukan. Dalam psikotrapi, proses penyadaran diri adalah point
penting dan tindakan pertama yang perlu dilakukan.
Seseorang
yang sudah mengalami puncak gejolak batin kemungkinan besar tidak akan mampu
menerima atau menyerap pemuasan kebutuhan pokok. Mereka akan mampu menerima
jika mereka sudah bisa melepaskan penafsiran kekanak-kanakan diri sendiri. Pendampingan
dan bimbingan selayaknya terus-menerus dilakukan sampai mereka mampu menerima
kenyataan diri sendiri, orang lain dan lingkungannya sebagiamana adanya.
Masing-masing pribadi manusia
memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi biologis (badaniah) dan
spiritualnya. Umumnya, Pengembangan diri tersebut butuh proses dan perjalanan
panjang. Dalam melakukan bimbingan psikis dan
spiritual baik pada diri sendiri atau orang lain diperlukan sebuah penghayatan
dan dzikir (mengingat),
baik pada ayat qouliah (al-Qur’an dan hadits, serta kitab-kitab lainnya)
maupun ayat kauniah (alam semesta). Singkat kata, keduanya adalah
laboratorium bagi hidupnya.
Penghayatan
dan dzikir (mengingat) biasanya dilakukan secara istiqomah
(terus-menerus) pada saat kapan
dan di mana saja, baik pada saat bertindak, berucap, berasa maupun berfikir. Kata
bosan, lelah dan payah tidak sedikitpun hinggap dalam benak, hingga memberikan atsar (bekas) bagi kehidupan manusia.
Salah satunya adalah mampu membentuk identitas dan kepribadian yang otentik dan
gaul.
Pengembangan psikis
atau spiritual untuk meraih wajah Tuhan, kiranya tidaklah cukup dengan uzlah
(mengasingkan diri) atau ber-kholwat (ke tempat yang sunyi) di gua-gua
atau mengisolasi diri. Manusia perlu bergaul dengan dunia keramaian dan alam
raya.
Dengan
demikian mata
manusia akan mampu melihat dampak sebuah tindakan dan ucapan sebelum melakukan.
Solidaritas antarsesama dengan sendirinya juga terbangun. Manusia tidak hanya
mampu berfikir dan merasakan tentang penderitaan pribadinya saja, tetapi mampu
merasakan penderitaan orang lain juga. Ia akan mudah sekali berempati kepada
sesamanya.
Manusia
seperti ini tidak akan terpengaruh oleh situasi dan kondisi apapun. Di kala ramai,
sunyi sepi, susah atau senang mereka tetap teguh, alam sadar dan bawah sadarnya
tetap terkendali, waspada dan senantiasa mawas diri. Akhirnya, manusia ini sadar betul hanya dengan
berdzikir dan bersama Sang Pemilik Alam dan Sumber Cahaya lah hati menjadi
tenang dan damai (Alaa bi dzikri al-Allah tathmainnu al-qulub).
*Lathifatul Izzah: Salah satu Kader
Perempuan Berbudaya Adiluhung angkatan I ,yang aktif di PW Fatayat NU DIY
dan LPBI (Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim) NU DIY, Staff pengajar di STIA Alma Ata
Yogyakarta, Dosen Luar Biasa (DLB) di Universitas Sanata Dharma, UIN
Sunan Kalijaga YK, sekarang sedang konsen mengembangkan lembaga TPQ dan Madrasah
Diniyah Takmiliyah Lintang Songo GMNU Sudagaran Yogyakarta, dan menarikan jemarinya di atas keyboard
adalah hobby-nya.
*Catatan: Tulisan ini sudah terbit di
Lembar Jum’at, buletin al-Rasikh, LPPAI UII Masjid Ulil Albab, 25
Februari 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar