Senin, 06 Januari 2014

BERAGAMA DENGAN MATANG, BUKAN KARENA FRUSTASI Oleh: Lathifatul Izzah



Bencana, musibah dan krisis yang memporak-porandakan tatanan kehidupan  bangsa akan dapat berdampak pada psikis manusia. Baik bencana, musibah maupun krisis tersebut direncanakan (by design) atau tidak oleh manusia. Akibatnya, tidak sedikit manusia mengalami trauma, frustrasi, kecewa, konflik batin, ketegangan dan perselisihan baik di tingkat individu maupun kelompok masyarakat. Gangguan psikis ini ada yang sifatnya mengancam dan tidak mengancam bagi batin manusia.
Gangguan psikis bersifat tidak mengancam karena tidak berdampak pada pertumbuhan penyakit jiwa. Sedang bersifat mengancam, karena berdampak pada patogen atau penyakit jiwa. Di sinilah kemudian agama dan/atau bimbingan spiritual menjadi penting untuk dijadikan sebagai psikoterapi atau psikopatogen. Agama dan/atau bimbingan spiritual dianggap mampu memberikan kedamaian, kebahagiaan, cinta kasih, mengatasi rasa takut, frustasi dan lain sebaginya.
Dalam bimbingan spiritual atau psikis pada diri sendiri atau orang lain tidak cukup hanya dipenuhi kebutuhan pokoknya saja. Seperti kebutuhan makan, tempat tinggal, kesehatan, keamanan, perhatian, perdamaian, pengakuan, persahabatan dan cinta kasih. Pemahaman terhadap diri sendiri juga perlu dilakukan. Dalam psikotrapi, proses penyadaran diri adalah point penting dan tindakan pertama yang perlu dilakukan.
Seseorang yang sudah mengalami puncak gejolak batin kemungkinan besar tidak akan mampu menerima atau menyerap pemuasan kebutuhan pokok. Mereka akan mampu menerima jika mereka sudah bisa melepaskan penafsiran kekanak-kanakan diri sendiri. Pendampingan dan bimbingan selayaknya terus-menerus dilakukan sampai mereka mampu menerima kenyataan diri sendiri, orang lain dan lingkungannya sebagiamana adanya.
Masing-masing pribadi manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi biologis (badaniah) dan spiritualnya. Umumnya, Pengembangan diri tersebut butuh proses dan perjalanan panjang. Dalam melakukan bimbingan psikis dan spiritual baik pada diri sendiri atau orang lain diperlukan sebuah penghayatan dan dzikir (mengingat), baik pada ayat qouliah (al-Qur’an dan hadits, serta kitab-kitab lainnya) maupun ayat kauniah (alam semesta). Singkat kata, keduanya adalah laboratorium bagi hidupnya.
Penghayatan dan dzikir (mengingat) biasanya dilakukan secara istiqomah (terus-menerus) pada saat kapan dan di mana saja, baik pada saat bertindak, berucap, berasa maupun berfikir. Kata bosan, lelah dan payah tidak sedikitpun hinggap dalam benak, hingga memberikan atsar (bekas) bagi kehidupan manusia. Salah satunya adalah mampu membentuk identitas dan kepribadian yang otentik dan gaul.
Pengembangan psikis atau spiritual untuk meraih wajah Tuhan, kiranya tidaklah cukup dengan uzlah (mengasingkan diri) atau ber-kholwat (ke tempat yang sunyi) di gua-gua atau mengisolasi diri. Manusia perlu bergaul dengan dunia keramaian dan alam raya.
Dengan demikian mata manusia akan mampu melihat dampak sebuah tindakan dan ucapan sebelum melakukan. Solidaritas antarsesama dengan sendirinya juga terbangun. Manusia tidak hanya mampu berfikir dan merasakan tentang penderitaan pribadinya saja, tetapi mampu merasakan penderitaan orang lain juga. Ia akan mudah sekali berempati kepada sesamanya.
Manusia seperti ini tidak akan terpengaruh oleh situasi dan kondisi apapun. Di kala ramai, sunyi sepi, susah atau senang mereka tetap teguh, alam sadar dan bawah sadarnya tetap terkendali, waspada dan senantiasa mawas diri. Akhirnya, manusia ini sadar betul hanya dengan berdzikir dan bersama Sang Pemilik Alam dan Sumber Cahaya lah hati menjadi tenang dan damai (Alaa bi dzikri al-Allah tathmainnu al-qulub).

*Lathifatul Izzah: Salah satu Kader Perempuan Berbudaya Adiluhung angkatan I ,yang aktif di PW Fatayat NU DIY dan LPBI (Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim) NU DIY, Staff pengajar di STIA Alma Ata Yogyakarta, Dosen Luar Biasa (DLB) di Universitas Sanata Dharma, UIN Sunan Kalijaga YK, sekarang sedang konsen mengembangkan lembaga TPQ dan Madrasah Diniyah Takmiliyah Lintang Songo GMNU Sudagaran Yogyakarta, dan menarikan jemarinya di atas keyboard adalah hobby-nya.

*Catatan: Tulisan ini sudah terbit di Lembar Jum’at, buletin al-Rasikh, LPPAI UII Masjid Ulil Albab, 25 Februari 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar