Perempuan ngayojokarto yang adiluhung itu adalah perempuan yang greget, nyawiji, sengguh lan ora mingkuh, Perempuan yang selalu bisa menempatkan dirinya dimanapun berada, dengan kelembutan dan kesederhanaan yang menonjolkan inner beauty serta mengajak/menebarkan kedamaian ditengah kemajemukan, dengan berpegang teguh kepada iman dan takwa (Miftah Bachria Saadah.November 2013)
Selasa, 28 Januari 2014
DORA dan PR BAHASA JAWA (oleh: Sri eko indie)
“Mbak, simbah kakung nembe tindak dateng pundi, tu artinya apa ?” Tanya Dora dengan lafal patah-patah. Dora adalah anak bungsu paman saya. Dia duduk dikelas 3 SD.
“Memang kenapa ?” Sahutku.
“inii ada pekerjaan rumah bahasa Jawa di suruh menjawab pertanyaan. Aku nggak tau ini artinya apa.” Ujar Dora sambil menghampiri ku dengan buku teks bahasa Jawa di tangannya.
“Oo.., coba sini lihat.” Dora mengulurkan bukunya. “simbah kakung tu artinya kakek. Nembe artinya sedang. Tindak artinya pergi. Kalau dateng pundi tu artinya ke mana.” Aku menjelaskan.
Percakapan itu adalah sebagian kecil percakapan di ruang keluarga saat aku berkumpul dengan anak-anak omku. Ya, setiap selesai sholat isya’ aku memang biasa ke rumah om ku menunggui anak-anaknya belajar. Meskipun aku tidak menguasai semua mata pelajaran tapi aku berusaha menjawab sebisa mungkin apa yang ditanyakan kepadaku. Seperti yang ditanyakan Dora tadi. Dan aku maklum kalau Dora kesulitan menerjemahkan kata-kata bahasa Jawa di buku pelajarannya.
Tentu saja Dora kesulitan mengartikan kata-kata dalam Bahasa Jawa tadi. Karena bahasa yang dia gunakan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia. Sejak balita dia dibiasakan berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tidak hanya Dora, si bungsu. Kakak-kakaknya juga dari kecil dibiasakan berbicara bahasa Indonesia. Meskipun sebenarnya keluarga besar kami adalah keluarga Jawa tulen.
“Biar nanti gampang waktu belajar di sekolah dan adaptasi dengan teman-temannya.” Begitu kata keluarga besar ku setiap ditanya kenapa bahasa yang digunakan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia, bukan bahasa ibu atau Bahasa Jawa.
Yang lebih alay ada lagi. Pernah waktu aku jadi baby sitter di sebuah keluarga yg cukup berada. Anaknya yang aku momong itu dari umur 2,5 tahun sudah dimasukkan ke sekolah internasional terkenal, franchise dari Singapura. Istilah kerennya Day Care. (kalau aku bilang namanya PAUD. Hehehee.. Cuma barangkali karena cara belajarnya adaptasi dari luar negeri dan bahasa yang digunakan juga bahasa Inggris, jadi dinamakan Day Care. ). Padahal orangtuanya, dua-duanya orang jawa asli. Mungkin karena boss ku yang laki-laki bekerja nya di perusahaan asing, yang lingkungan kerjanya mayoritas bule dan Cina, biar nanti anaknya lebih mudah adaptasi lalu anaknya disekolahkan ke Internasional school sejak dini.
Satu sisi ada baiknya juga juga anak-anak usia balita dimasukkan ke sekolah internasional. Aku lihat mereka jadi lebih kreatif, mandiri, disiplin dan tanggungjawab. Tahu kapan waktunya tidur, waktunya makan. Selesai makan harus bagaimana. Selesai bermain harus bagaimana. Mereka tahu apa yang harus dilakukan. Dan yang pasti mereka nggak gaptek dan pintar berbahasa Inggris. Hehee..
Sisi negatifnya, dia kurang komunikatif dengan teman-temannya yang di rumah. Lingkungannya. Ada cerita lucu saat aku menunggui anak boss aku bermain dengan anak tetangga sebelah. Saat itu aku lihat Dhaniko, anak boss aku sedang manjat ke pagar besi yang lumayan agak tinggi. Lala, salah satu anak tetangga yang berumur 6 tahun berseru..
“Ko, medun. Mengko kowe tibo !” teriak Lala. Dhaniko spontan melihat ke arah Lala. “Ayo, Ko. Cepet medun, ndak tibo !” Lala berseru lagi.
Dhaniko, sambil masih nangkring di pagar besi, terus menatap ke arah Lala dengan tatapan bingung. Aku tahu kenapa Dhaniko terdiam bingung. Karena dia tidak tahu apa yang diucapkan Lala. Padahal Lala terus berseru padanya.
“Ko, you must step down. Lala afraight you can falling down. “ Kataku pada Dhaniko. Dan Dhaniko pun merayap turun dari pagar besi.
Miskomunikasi seperti itu selalu terjadi disaat dia bermain dengan temannya di rumah. Begitu juga dengan Dora. Kesulitan dalam mengerjakan PR Bahasa Jawa maupun ketika berkomunikasi dengan temannya yang menggunakan bahaasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari.
So, salah siapa ?
Senin, 06 Januari 2014
BERAGAMA DENGAN MATANG, BUKAN KARENA FRUSTASI Oleh: Lathifatul Izzah
Bencana,
musibah dan krisis yang memporak-porandakan tatanan kehidupan bangsa akan dapat berdampak pada psikis
manusia. Baik bencana, musibah maupun krisis tersebut direncanakan (by design) atau tidak oleh manusia. Akibatnya,
tidak sedikit manusia mengalami trauma, frustrasi, kecewa, konflik batin,
ketegangan dan perselisihan baik di tingkat individu maupun kelompok
masyarakat. Gangguan psikis ini ada yang sifatnya mengancam dan tidak mengancam
bagi batin manusia.
Gangguan
psikis bersifat tidak mengancam karena tidak berdampak pada pertumbuhan
penyakit jiwa. Sedang bersifat mengancam, karena berdampak pada patogen atau
penyakit jiwa. Di sinilah kemudian agama dan/atau bimbingan spiritual menjadi
penting untuk dijadikan sebagai psikoterapi atau psikopatogen. Agama dan/atau
bimbingan spiritual dianggap mampu memberikan kedamaian, kebahagiaan, cinta
kasih, mengatasi rasa takut, frustasi dan lain sebaginya.
Dalam
bimbingan spiritual atau psikis pada diri sendiri atau orang lain tidak cukup
hanya dipenuhi kebutuhan pokoknya saja.
Seperti kebutuhan
makan, tempat tinggal, kesehatan, keamanan, perhatian, perdamaian, pengakuan,
persahabatan dan cinta kasih. Pemahaman terhadap diri sendiri
juga perlu dilakukan. Dalam psikotrapi, proses penyadaran diri adalah point
penting dan tindakan pertama yang perlu dilakukan.
Seseorang
yang sudah mengalami puncak gejolak batin kemungkinan besar tidak akan mampu
menerima atau menyerap pemuasan kebutuhan pokok. Mereka akan mampu menerima
jika mereka sudah bisa melepaskan penafsiran kekanak-kanakan diri sendiri. Pendampingan
dan bimbingan selayaknya terus-menerus dilakukan sampai mereka mampu menerima
kenyataan diri sendiri, orang lain dan lingkungannya sebagiamana adanya.
Masing-masing pribadi manusia
memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi biologis (badaniah) dan
spiritualnya. Umumnya, Pengembangan diri tersebut butuh proses dan perjalanan
panjang. Dalam melakukan bimbingan psikis dan
spiritual baik pada diri sendiri atau orang lain diperlukan sebuah penghayatan
dan dzikir (mengingat),
baik pada ayat qouliah (al-Qur’an dan hadits, serta kitab-kitab lainnya)
maupun ayat kauniah (alam semesta). Singkat kata, keduanya adalah
laboratorium bagi hidupnya.
Penghayatan
dan dzikir (mengingat) biasanya dilakukan secara istiqomah
(terus-menerus) pada saat kapan
dan di mana saja, baik pada saat bertindak, berucap, berasa maupun berfikir. Kata
bosan, lelah dan payah tidak sedikitpun hinggap dalam benak, hingga memberikan atsar (bekas) bagi kehidupan manusia.
Salah satunya adalah mampu membentuk identitas dan kepribadian yang otentik dan
gaul.
Pengembangan psikis
atau spiritual untuk meraih wajah Tuhan, kiranya tidaklah cukup dengan uzlah
(mengasingkan diri) atau ber-kholwat (ke tempat yang sunyi) di gua-gua
atau mengisolasi diri. Manusia perlu bergaul dengan dunia keramaian dan alam
raya.
Dengan
demikian mata
manusia akan mampu melihat dampak sebuah tindakan dan ucapan sebelum melakukan.
Solidaritas antarsesama dengan sendirinya juga terbangun. Manusia tidak hanya
mampu berfikir dan merasakan tentang penderitaan pribadinya saja, tetapi mampu
merasakan penderitaan orang lain juga. Ia akan mudah sekali berempati kepada
sesamanya.
Manusia
seperti ini tidak akan terpengaruh oleh situasi dan kondisi apapun. Di kala ramai,
sunyi sepi, susah atau senang mereka tetap teguh, alam sadar dan bawah sadarnya
tetap terkendali, waspada dan senantiasa mawas diri. Akhirnya, manusia ini sadar betul hanya dengan
berdzikir dan bersama Sang Pemilik Alam dan Sumber Cahaya lah hati menjadi
tenang dan damai (Alaa bi dzikri al-Allah tathmainnu al-qulub).
*Lathifatul Izzah: Salah satu Kader
Perempuan Berbudaya Adiluhung angkatan I ,yang aktif di PW Fatayat NU DIY
dan LPBI (Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim) NU DIY, Staff pengajar di STIA Alma Ata
Yogyakarta, Dosen Luar Biasa (DLB) di Universitas Sanata Dharma, UIN
Sunan Kalijaga YK, sekarang sedang konsen mengembangkan lembaga TPQ dan Madrasah
Diniyah Takmiliyah Lintang Songo GMNU Sudagaran Yogyakarta, dan menarikan jemarinya di atas keyboard
adalah hobby-nya.
*Catatan: Tulisan ini sudah terbit di
Lembar Jum’at, buletin al-Rasikh, LPPAI UII Masjid Ulil Albab, 25
Februari 2005.
PERBENTURAN DIANTARA DUA BUDAYA DAN PERADABAN DUNIA Oleh: Lathifatul Izzah
PERBENTURAN DIANTARA DUA BUDAYA DAN PERADABAN DUNIA
Oleh:
Lathifatul Izzah
Judul buku : Sang Manusia
Sempurna, Antara Filsafat Islam Dan Hindu
Penulis : Seyyed Mohsen Miri
Penerjemah : Zubair
Penerbit : Teraju Mizan,
Bandung
Cetakan : Pertama/2004
Tebal Buku : xvi + 236 halaman
Di
balik kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai, moderenisme dapat
mereduksi nilai-nilai luhur kemanusiaan. Ilmu pengetahuan sebagai komponen
dominan peradaban modern telah mereduksi manusia ke tingkat hewani atau bahkan
benda-benda mati belaka. Manusia dalam banyak tradisi keagamaan dipandang
sebagai “citra” ilahi. Dalam penelitian manusia seringkali direduksi ke
tingkat hewani. Sehingga dalam pandangan sains modern, manusia tidak ubahnya
seekor tikus dan seonggok benda mati, laksana “sebutir debu di antara debu-debu
lain yang berserakan di alam semesta.”
Dampak
lain modernisme adalah manusia banyak mengalami kekeringan spiritual dan krisis
multi-dimensi. Kemudian kekeringan dan krisis tersebut memunculkan berbagai
bentuk penyakit jasmani atau rohani. Mereka tidak sedikit melakukan perbuatan
aneh-aneh, misalnya memakai narkoba, korupsi, prostitusi, perselingkuhan bahkan
lari ke jalan-jalan dst. Perbuatan tersebut dianggap dapat menyelesaikan
permasalahan yang dihadapinya dan dapat menemukan kembali jati dirinya yang
hilang. Perilaku aneh tersebut justru melahirkan masalah baru bagi kehidupan
dirinya dan lingkungan masyarakatnya. Hingga akhir-akhir ini bermunculan rei
ki-rei ki atau pusat-pusat penyembuhan alternatif yang instan dan dianggap
dapat menyembuhkan segala bentuk penyakit.
Lewat
karya monumentalnya, The Perfect Man, A Comparative Study in Indian and
Iranian Philosophical Thought, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi Sang Manusia Sempurna Antara
Filsafat Islam dan Hindu Seyyed Mohsen Miri yang lahir di Teheran Iran,
tahun 1960 dan sekarang menjabat sebagai Rektor Islamic College for Advanced
Studies (ICAS) London Cabang Jakarta, berusaha untuk mengajak pembaca
merenungkan sejenak tawaran dari dua budaya dan peradaban besar dunia, yakni Islam
(Iran) dan Hindu (India).
Masing-masing
budaya dan peradaban ini diwakili Jalaluddin Rumi (dari Islam), mistikus yang
lebih dikenal dengan puisi cinta kepada Tuhan dan Mulla Shadra adalah salah
seorang tokoh yang mampu melakukan sintesa atas berbagai aliran filsafat Islam.
Sementara dari Hindu dipresentasikan oleh dua Filosof India, Sri Aurobindo dan
Swami Vivekananda. Mereka adalah filosof-filosof Hindu yang banyak makan
asam-garamnya kehidupan modern di Barat. Kemudian mereka mendalami kehidupan
asketisisme dan mistisisme.
Dari
kemasan ini, Miri juga berusaha menawarkan dan memberi jalan alternatif kepada
seluruh pembaca untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dan mengajak umat
manusia agar kembali kepada fitrahnya, bahwa manusia bukan makhluk biologis
semata tetapi makhluk spiritual. Manusia terikat secara akrab bukan hanya
dengan dunia fisik, tetapi juga dengan dunia spiritual yang menyebabkan dirinya
berpotensi bukan hanya untuk mengenal dunia fisik, tetapi dunia non-fisik atau
spiritual. Manusia bukan merupakan seonggok benda mati belaka, tetapi merupakan
intisari kosmos (alam). Manusia adalah “mikrokosmos” yang telah dijadikan
sebagai “sebab fundamental” atau bahkan sebagai tujuan akhir penciptaan alam.
Manusia
sempurna akan mengalami kefanaan bersama Tuhan, mengaktualisasikan sifat-sifat
Tuhan, tanpa harus menghindar dari pergaulan dan persoalan dunia. Kebahagiaan
dan kesempurnaan akan dicapai melalui dunia dan tubuh. Sebagai pendamping dan pelayan
bagi masyarakat adalah kebanggaan dan kebahagiaan bagi dirinya. Ia tidak
terpengaruh dengan perubahan kondisi masyarakatnya dan kekaguman orang lain
terhadapnya. Yang paling menarik bagi dirinya hanyalah melihat esensi dan
kemurahan Tuhan.
Mulyadhi
Kartanegara, salah seorang filosof muslim Indonesia kini dalam pengantar buku
ini mengatakan bahwa manusia sempurna adalah satu-satunya wakil dari Sang
Pencipta yang diberi amanah luhur untuk mengejawantahkan kehendak-kehendak
Tuhan di muka bumi. Ia adalah wakil bukan dari sembarang raja, tetapi wakil
dari Raja di Raja, yakni Tuhan yang Maha Esa.
Masing-masing
pribadi memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi biologis (badaniah) dan
spiritualnya (jiwa) melalui perjalanan spiritual yang panjang, tidak terputus,
dan tidak lekang oleh ruang dan waktu. Dalam Islam perjalanan spiritual ini
dapat ditempuh dengan dua jalan, yaitu jalan spekulatif dan jalan praktis.
Jalan spekulatif (teoritis) adalah jalan yang
mengarah pada intelek, pemahaman, dan pengertian manusia. Sedang Jalan praktis
dapat ditempuh melalui empat tingkatan, pertama penyucian penampilan
dengan memperhatikan hukum Tuhan dan ajaran agama, seperti puasa, zakat,
sholat, peduli pada keluarga, menyantuni anak yatim dan orang miskin,
memberikan pendidikan, membangun rumah sakit dan mendirikan pusat-pusat bantuan
kemanusiaan, kedua penyucian hati dan batin dari hal-hal yang tidak
bermoral, ketiga menghiasi jiwa dengan berbagai bentuk dan keuntungan
yang suci, dan keempat memfanakan (menyatukan) jiwa ke dalam Tuhan
sambil memperhatikan keaguangan Tuhan dan Kerajaan-Nya, yang merupakan akhir
dari petualangan pertama manusia (hal. 84).
Hindu
menyebut jalan spiritual ini dengan sebutan yoga yang terdiri dari empat
bentuk: Yoga Jnana adalah jenis yoga yang menekankan pada pembebasan kebodohan
yang akan membawa manusia pada pengetahuan. Yoga Bhakti adalah bentuk yoga yang
menawarkan jalan pemujaan dan cinta untuk menuju Brahman, pemujaan terhadap
gambar dan berhala yang mengindikasikan Dewa dan Dewi, berdo’a, zikir, dan
senandung nyanyian-nyanyian ketuhanan, kemudian dilanjutkan dengan meditasi, dan
terakhir ketiadaan yang memuja dan yang dipuja yang keduanya saling menyatu,
sering disebut dengan moksa. Yoga Karma adalah jenis yoga yang menekankan pada
sikap dan perbuatan baik. Yoga Raja adalah bentuk yoga yang bersifat fisik dan
psikis yang menekankan pada pengendalian akal dan tubuh. (hal. 207).
Dari jalan
spiritual yang ditawarkan oleh kedua agama tersebut, masing-masing pribadi
manusia bebas memilih jalan yang dikehendaki dalam mengembangkan jiwa
spiritulnya untuk mencapai tingkat kesempurnaannya. Jalan kesempurnaan tidak
hanya diklaim salah satu agama, misalnya Islam atau Hindu saja. Agama-agama
lain juga mempunyai hak dan berwajiban membentuk dan menawarkan konsep insan
kamil (manusia sempurna).
Oleh sebab itu
Miri memandang bahwa persoalan tersebut bukan persoalan pribadi atau golongan,
tetapi persoalan bersama. Dalam buku ini Miri mengingatkan pada para pembaca
agar melakukan dialog dan kerjasama dalam menghadapi persolan-persoalan
kemanusiaan. Tujuan terpenting adalah untuk membangun peradaban baru yang lebih
baik dan dinamis dalam menebarkan perdamaian, keamanan, keadilan dan
kebahagiaan kepada seluruh alam. Keberagamaan atau religiositas
masing-masing umat beragama yang sudah melekat dalam masing-masing ajaran
agamanya dapat dijadikan pintu masuk untuk melakukan gerakan tersebut.
Buku
ini akan semakin terasa nikmat dibaca jika dipersandingkan dengan buku Farid
Esack, On Being a Muslim Finding a Religious Path in the World Today
(1999) yang dilalihbahasakan ke Indonesia On Being a Muslim Fajar Baru
Spiritualitas Islam Liberal-Plural dan buku Sayyed Hussein Nashr, Islamic
Spirituality: Manifestations (World Spirituality - An Encyclopedic
History of the Religious Quest) dan Islamic Spirituality: Foundation (world
spirituality). Esack dan Nashr hanya berusaha mengungkap jalan spiritual
Islam, tetapi tidak berusaha untuk membandingkan dan mempertemukan dengan
agama-agama lain, sebagaimana yang dilakukan Miri.
Buku ini baik dan menarik untuk dibaca semua
kalangan, lebih-lebih para budayawan, ilmuwan dan agamawan yang akhir-akhir ini
ditantang oleh terpaan badai moderinisme.
*Lathifatul
Izzah: salah seorang kader Perempuan Berbudaya
Adiluhung angkatan Pertama yang aktif di PW Fatayat DIY dan masih mengikuti Pendidikan
Ulama Perempuan (PUP) angkatan IV Rahima.
*Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga (almamater penulis), Religi, Vol. IV, No. 2, Juli 2005.
Langganan:
Postingan (Atom)