Selasa, 28 Januari 2014

DORA dan PR BAHASA JAWA (oleh: Sri eko indie)

“Mbak, simbah kakung nembe tindak dateng pundi, tu artinya apa ?” Tanya Dora dengan lafal patah-patah. Dora adalah anak bungsu paman saya. Dia duduk dikelas 3 SD. “Memang kenapa ?” Sahutku. “inii ada pekerjaan rumah bahasa Jawa di suruh menjawab pertanyaan. Aku nggak tau ini artinya apa.” Ujar Dora sambil menghampiri ku dengan buku teks bahasa Jawa di tangannya. “Oo.., coba sini lihat.” Dora mengulurkan bukunya. “simbah kakung tu artinya kakek. Nembe artinya sedang. Tindak artinya pergi. Kalau dateng pundi tu artinya ke mana.” Aku menjelaskan. Percakapan itu adalah sebagian kecil percakapan di ruang keluarga saat aku berkumpul dengan anak-anak omku. Ya, setiap selesai sholat isya’ aku memang biasa ke rumah om ku menunggui anak-anaknya belajar. Meskipun aku tidak menguasai semua mata pelajaran tapi aku berusaha menjawab sebisa mungkin apa yang ditanyakan kepadaku. Seperti yang ditanyakan Dora tadi. Dan aku maklum kalau Dora kesulitan menerjemahkan kata-kata bahasa Jawa di buku pelajarannya. Tentu saja Dora kesulitan mengartikan kata-kata dalam Bahasa Jawa tadi. Karena bahasa yang dia gunakan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia. Sejak balita dia dibiasakan berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tidak hanya Dora, si bungsu. Kakak-kakaknya juga dari kecil dibiasakan berbicara bahasa Indonesia. Meskipun sebenarnya keluarga besar kami adalah keluarga Jawa tulen. “Biar nanti gampang waktu belajar di sekolah dan adaptasi dengan teman-temannya.” Begitu kata keluarga besar ku setiap ditanya kenapa bahasa yang digunakan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia, bukan bahasa ibu atau Bahasa Jawa. Yang lebih alay ada lagi. Pernah waktu aku jadi baby sitter di sebuah keluarga yg cukup berada. Anaknya yang aku momong itu dari umur 2,5 tahun sudah dimasukkan ke sekolah internasional terkenal, franchise dari Singapura. Istilah kerennya Day Care. (kalau aku bilang namanya PAUD. Hehehee.. Cuma barangkali karena cara belajarnya adaptasi dari luar negeri dan bahasa yang digunakan juga bahasa Inggris, jadi dinamakan Day Care. ). Padahal orangtuanya, dua-duanya orang jawa asli. Mungkin karena boss ku yang laki-laki bekerja nya di perusahaan asing, yang lingkungan kerjanya mayoritas bule dan Cina, biar nanti anaknya lebih mudah adaptasi lalu anaknya disekolahkan ke Internasional school sejak dini. Satu sisi ada baiknya juga juga anak-anak usia balita dimasukkan ke sekolah internasional. Aku lihat mereka jadi lebih kreatif, mandiri, disiplin dan tanggungjawab. Tahu kapan waktunya tidur, waktunya makan. Selesai makan harus bagaimana. Selesai bermain harus bagaimana. Mereka tahu apa yang harus dilakukan. Dan yang pasti mereka nggak gaptek dan pintar berbahasa Inggris. Hehee.. Sisi negatifnya, dia kurang komunikatif dengan teman-temannya yang di rumah. Lingkungannya. Ada cerita lucu saat aku menunggui anak boss aku bermain dengan anak tetangga sebelah. Saat itu aku lihat Dhaniko, anak boss aku sedang manjat ke pagar besi yang lumayan agak tinggi. Lala, salah satu anak tetangga yang berumur 6 tahun berseru.. “Ko, medun. Mengko kowe tibo !” teriak Lala. Dhaniko spontan melihat ke arah Lala. “Ayo, Ko. Cepet medun, ndak tibo !” Lala berseru lagi. Dhaniko, sambil masih nangkring di pagar besi, terus menatap ke arah Lala dengan tatapan bingung. Aku tahu kenapa Dhaniko terdiam bingung. Karena dia tidak tahu apa yang diucapkan Lala. Padahal Lala terus berseru padanya. “Ko, you must step down. Lala afraight you can falling down. “ Kataku pada Dhaniko. Dan Dhaniko pun merayap turun dari pagar besi. Miskomunikasi seperti itu selalu terjadi disaat dia bermain dengan temannya di rumah. Begitu juga dengan Dora. Kesulitan dalam mengerjakan PR Bahasa Jawa maupun ketika berkomunikasi dengan temannya yang menggunakan bahaasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. So, salah siapa ?

Senin, 06 Januari 2014

BERAGAMA DENGAN MATANG, BUKAN KARENA FRUSTASI Oleh: Lathifatul Izzah



Bencana, musibah dan krisis yang memporak-porandakan tatanan kehidupan  bangsa akan dapat berdampak pada psikis manusia. Baik bencana, musibah maupun krisis tersebut direncanakan (by design) atau tidak oleh manusia. Akibatnya, tidak sedikit manusia mengalami trauma, frustrasi, kecewa, konflik batin, ketegangan dan perselisihan baik di tingkat individu maupun kelompok masyarakat. Gangguan psikis ini ada yang sifatnya mengancam dan tidak mengancam bagi batin manusia.
Gangguan psikis bersifat tidak mengancam karena tidak berdampak pada pertumbuhan penyakit jiwa. Sedang bersifat mengancam, karena berdampak pada patogen atau penyakit jiwa. Di sinilah kemudian agama dan/atau bimbingan spiritual menjadi penting untuk dijadikan sebagai psikoterapi atau psikopatogen. Agama dan/atau bimbingan spiritual dianggap mampu memberikan kedamaian, kebahagiaan, cinta kasih, mengatasi rasa takut, frustasi dan lain sebaginya.
Dalam bimbingan spiritual atau psikis pada diri sendiri atau orang lain tidak cukup hanya dipenuhi kebutuhan pokoknya saja. Seperti kebutuhan makan, tempat tinggal, kesehatan, keamanan, perhatian, perdamaian, pengakuan, persahabatan dan cinta kasih. Pemahaman terhadap diri sendiri juga perlu dilakukan. Dalam psikotrapi, proses penyadaran diri adalah point penting dan tindakan pertama yang perlu dilakukan.
Seseorang yang sudah mengalami puncak gejolak batin kemungkinan besar tidak akan mampu menerima atau menyerap pemuasan kebutuhan pokok. Mereka akan mampu menerima jika mereka sudah bisa melepaskan penafsiran kekanak-kanakan diri sendiri. Pendampingan dan bimbingan selayaknya terus-menerus dilakukan sampai mereka mampu menerima kenyataan diri sendiri, orang lain dan lingkungannya sebagiamana adanya.
Masing-masing pribadi manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi biologis (badaniah) dan spiritualnya. Umumnya, Pengembangan diri tersebut butuh proses dan perjalanan panjang. Dalam melakukan bimbingan psikis dan spiritual baik pada diri sendiri atau orang lain diperlukan sebuah penghayatan dan dzikir (mengingat), baik pada ayat qouliah (al-Qur’an dan hadits, serta kitab-kitab lainnya) maupun ayat kauniah (alam semesta). Singkat kata, keduanya adalah laboratorium bagi hidupnya.
Penghayatan dan dzikir (mengingat) biasanya dilakukan secara istiqomah (terus-menerus) pada saat kapan dan di mana saja, baik pada saat bertindak, berucap, berasa maupun berfikir. Kata bosan, lelah dan payah tidak sedikitpun hinggap dalam benak, hingga memberikan atsar (bekas) bagi kehidupan manusia. Salah satunya adalah mampu membentuk identitas dan kepribadian yang otentik dan gaul.
Pengembangan psikis atau spiritual untuk meraih wajah Tuhan, kiranya tidaklah cukup dengan uzlah (mengasingkan diri) atau ber-kholwat (ke tempat yang sunyi) di gua-gua atau mengisolasi diri. Manusia perlu bergaul dengan dunia keramaian dan alam raya.
Dengan demikian mata manusia akan mampu melihat dampak sebuah tindakan dan ucapan sebelum melakukan. Solidaritas antarsesama dengan sendirinya juga terbangun. Manusia tidak hanya mampu berfikir dan merasakan tentang penderitaan pribadinya saja, tetapi mampu merasakan penderitaan orang lain juga. Ia akan mudah sekali berempati kepada sesamanya.
Manusia seperti ini tidak akan terpengaruh oleh situasi dan kondisi apapun. Di kala ramai, sunyi sepi, susah atau senang mereka tetap teguh, alam sadar dan bawah sadarnya tetap terkendali, waspada dan senantiasa mawas diri. Akhirnya, manusia ini sadar betul hanya dengan berdzikir dan bersama Sang Pemilik Alam dan Sumber Cahaya lah hati menjadi tenang dan damai (Alaa bi dzikri al-Allah tathmainnu al-qulub).

*Lathifatul Izzah: Salah satu Kader Perempuan Berbudaya Adiluhung angkatan I ,yang aktif di PW Fatayat NU DIY dan LPBI (Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim) NU DIY, Staff pengajar di STIA Alma Ata Yogyakarta, Dosen Luar Biasa (DLB) di Universitas Sanata Dharma, UIN Sunan Kalijaga YK, sekarang sedang konsen mengembangkan lembaga TPQ dan Madrasah Diniyah Takmiliyah Lintang Songo GMNU Sudagaran Yogyakarta, dan menarikan jemarinya di atas keyboard adalah hobby-nya.

*Catatan: Tulisan ini sudah terbit di Lembar Jum’at, buletin al-Rasikh, LPPAI UII Masjid Ulil Albab, 25 Februari 2005.

PERBENTURAN DIANTARA DUA BUDAYA DAN PERADABAN DUNIA Oleh: Lathifatul Izzah



PERBENTURAN DIANTARA DUA BUDAYA DAN PERADABAN DUNIA
Oleh: Lathifatul Izzah

Judul buku      : Sang Manusia Sempurna, Antara Filsafat Islam Dan Hindu
Penulis                        : Seyyed Mohsen Miri
Penerjemah     : Zubair
Penerbit          : Teraju Mizan, Bandung
Cetakan           : Pertama/2004 
Tebal Buku     : xvi + 236 halaman

Di balik kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai, moderenisme dapat mereduksi nilai-nilai luhur kemanusiaan. Ilmu pengetahuan sebagai komponen dominan peradaban modern telah mereduksi manusia ke tingkat hewani atau bahkan benda-benda mati belaka. Manusia dalam banyak tradisi keagamaan dipandang sebagai “citra” ilahi. Dalam penelitian manusia seringkali direduksi ke tingkat hewani. Sehingga dalam pandangan sains modern, manusia tidak ubahnya seekor tikus dan seonggok benda mati, laksana “sebutir debu di antara debu-debu lain yang berserakan di alam semesta.”
Dampak lain modernisme adalah manusia banyak mengalami kekeringan spiritual dan krisis multi-dimensi. Kemudian kekeringan dan krisis tersebut memunculkan berbagai bentuk penyakit jasmani atau rohani. Mereka tidak sedikit melakukan perbuatan aneh-aneh, misalnya memakai narkoba, korupsi, prostitusi, perselingkuhan bahkan lari ke jalan-jalan dst. Perbuatan tersebut dianggap dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dan dapat menemukan kembali jati dirinya yang hilang. Perilaku aneh tersebut justru melahirkan masalah baru bagi kehidupan dirinya dan lingkungan masyarakatnya. Hingga akhir-akhir ini bermunculan rei ki-rei ki atau pusat-pusat penyembuhan alternatif yang instan dan dianggap dapat menyembuhkan segala bentuk penyakit.
Lewat karya monumentalnya, The Perfect Man, A Comparative Study in Indian and Iranian Philosophical Thought, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi  Sang Manusia Sempurna Antara Filsafat Islam dan Hindu Seyyed Mohsen Miri yang lahir di Teheran Iran, tahun 1960 dan sekarang menjabat sebagai Rektor Islamic College for Advanced Studies (ICAS) London Cabang Jakarta, berusaha untuk mengajak pembaca merenungkan sejenak tawaran dari dua budaya dan peradaban besar dunia, yakni Islam (Iran) dan Hindu (India).
Masing-masing budaya dan peradaban ini diwakili Jalaluddin Rumi (dari Islam), mistikus yang lebih dikenal dengan puisi cinta kepada Tuhan dan Mulla Shadra adalah salah seorang tokoh yang mampu melakukan sintesa atas berbagai aliran filsafat Islam. Sementara dari Hindu dipresentasikan oleh dua Filosof India, Sri Aurobindo dan Swami Vivekananda. Mereka adalah filosof-filosof Hindu yang banyak makan asam-garamnya kehidupan modern di Barat. Kemudian mereka mendalami kehidupan asketisisme dan mistisisme.
Dari kemasan ini, Miri juga berusaha menawarkan dan memberi jalan alternatif kepada seluruh pembaca untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dan mengajak umat manusia agar kembali kepada fitrahnya, bahwa manusia bukan makhluk biologis semata tetapi makhluk spiritual. Manusia terikat secara akrab bukan hanya dengan dunia fisik, tetapi juga dengan dunia spiritual yang menyebabkan dirinya berpotensi bukan hanya untuk mengenal dunia fisik, tetapi dunia non-fisik atau spiritual. Manusia bukan merupakan seonggok benda mati belaka, tetapi merupakan intisari kosmos (alam). Manusia adalah “mikrokosmos” yang telah dijadikan sebagai “sebab fundamental” atau bahkan sebagai tujuan akhir penciptaan alam.
Manusia sempurna akan mengalami kefanaan bersama Tuhan, mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan, tanpa harus menghindar dari pergaulan dan persoalan dunia. Kebahagiaan dan kesempurnaan akan dicapai melalui dunia dan tubuh. Sebagai pendamping dan pelayan bagi masyarakat adalah kebanggaan dan kebahagiaan bagi dirinya. Ia tidak terpengaruh dengan perubahan kondisi masyarakatnya dan kekaguman orang lain terhadapnya. Yang paling menarik bagi dirinya hanyalah melihat esensi dan kemurahan Tuhan.
Mulyadhi Kartanegara, salah seorang filosof muslim Indonesia kini dalam pengantar buku ini mengatakan bahwa manusia sempurna adalah satu-satunya wakil dari Sang Pencipta yang diberi amanah luhur untuk mengejawantahkan kehendak-kehendak Tuhan di muka bumi. Ia adalah wakil bukan dari sembarang raja, tetapi wakil dari Raja di Raja, yakni Tuhan yang Maha Esa.
Masing-masing pribadi memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi biologis (badaniah) dan spiritualnya (jiwa) melalui perjalanan spiritual yang panjang, tidak terputus, dan tidak lekang oleh ruang dan waktu. Dalam Islam perjalanan spiritual ini dapat ditempuh dengan dua jalan, yaitu jalan spekulatif dan jalan praktis.
 Jalan spekulatif (teoritis) adalah jalan yang mengarah pada intelek, pemahaman, dan pengertian manusia. Sedang Jalan praktis dapat ditempuh melalui empat tingkatan, pertama penyucian penampilan dengan memperhatikan hukum Tuhan dan ajaran agama, seperti puasa, zakat, sholat, peduli pada keluarga, menyantuni anak yatim dan orang miskin, memberikan pendidikan, membangun rumah sakit dan mendirikan pusat-pusat bantuan kemanusiaan, kedua penyucian hati dan batin dari hal-hal yang tidak bermoral, ketiga menghiasi jiwa dengan berbagai bentuk dan keuntungan yang suci, dan keempat memfanakan (menyatukan) jiwa ke dalam Tuhan sambil memperhatikan keaguangan Tuhan dan Kerajaan-Nya, yang merupakan akhir dari petualangan pertama manusia (hal. 84).
Hindu menyebut jalan spiritual ini dengan sebutan yoga yang terdiri dari empat bentuk: Yoga Jnana adalah jenis yoga yang menekankan pada pembebasan kebodohan yang akan membawa manusia pada pengetahuan. Yoga Bhakti adalah bentuk yoga yang menawarkan jalan pemujaan dan cinta untuk menuju Brahman, pemujaan terhadap gambar dan berhala yang mengindikasikan Dewa dan Dewi, berdo’a, zikir, dan senandung nyanyian-nyanyian ketuhanan, kemudian dilanjutkan dengan meditasi, dan terakhir ketiadaan yang memuja dan yang dipuja yang keduanya saling menyatu, sering disebut dengan moksa. Yoga Karma adalah jenis yoga yang menekankan pada sikap dan perbuatan baik. Yoga Raja adalah bentuk yoga yang bersifat fisik dan psikis yang menekankan pada pengendalian akal dan tubuh. (hal. 207). 
Dari jalan spiritual yang ditawarkan oleh kedua agama tersebut, masing-masing pribadi manusia bebas memilih jalan yang dikehendaki dalam mengembangkan jiwa spiritulnya untuk mencapai tingkat kesempurnaannya. Jalan kesempurnaan tidak hanya diklaim salah satu agama, misalnya Islam atau Hindu saja. Agama-agama lain juga mempunyai hak dan berwajiban membentuk dan menawarkan konsep insan kamil (manusia sempurna).
Oleh sebab itu Miri memandang bahwa persoalan tersebut bukan persoalan pribadi atau golongan, tetapi persoalan bersama. Dalam buku ini Miri mengingatkan pada para pembaca agar melakukan dialog dan kerjasama dalam menghadapi persolan-persoalan kemanusiaan. Tujuan terpenting adalah untuk membangun peradaban baru yang lebih baik dan dinamis dalam menebarkan perdamaian, keamanan, keadilan dan kebahagiaan kepada seluruh alam. Keberagamaan atau religiositas masing-masing umat beragama yang sudah melekat dalam masing-masing ajaran agamanya dapat dijadikan pintu masuk untuk melakukan gerakan tersebut. 
Buku ini akan semakin terasa nikmat dibaca jika dipersandingkan dengan buku Farid Esack, On Being a Muslim Finding a Religious Path in the World Today (1999) yang dilalihbahasakan ke Indonesia On Being a Muslim Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal-Plural dan buku Sayyed Hussein Nashr, Islamic Spirituality: Manifestations (World Spirituality - An Encyclopedic History of the Religious Quest) dan Islamic Spirituality: Foundation (world spirituality). Esack dan Nashr hanya berusaha mengungkap jalan spiritual Islam, tetapi tidak berusaha untuk membandingkan dan mempertemukan dengan agama-agama lain, sebagaimana yang dilakukan Miri.
 Buku ini baik dan menarik untuk dibaca semua kalangan, lebih-lebih para budayawan, ilmuwan dan agamawan yang akhir-akhir ini ditantang oleh terpaan badai moderinisme.


*Lathifatul Izzah: salah seorang kader Perempuan Berbudaya Adiluhung angkatan Pertama yang aktif di PW Fatayat DIY dan masih mengikuti Pendidikan Ulama Perempuan (PUP) angkatan IV Rahima.

*Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga (almamater penulis), Religi, Vol. IV, No. 2, Juli 2005.